Nama : Hendri Dwi Rusmedia
NPM : 13210214
Kelas : 4EA14
Mata Kuliah : Etika Bisnis
Dosen : Ashur Harmadi
1. Contoh Kasus Hak Pekerja
Protes PHK massal, karyawan tambang buat 1.000 makam di
Tuprok
Dalam kurun waktu 20 hari ini, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal para pekerja tambang mineral terus bergulir. Namun, berbagai perusahaan tersebut tidak memberikan pesangon.
Sebagai bentuk kekecewaan, Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (Spartan) membuat 1.000 makam di depan Tugu Proklamasi (Tuprok). 'Makam' tersebut melambangkan PHK tanpa pesangon seperti sebuah kematian.
Pantauan merdeka.com, Kamis (2/1) makam tersebut terbuat dari papan sepanjang 50 cm. Terdapat pula, papan yang dibuat sebagai batu nisan dan ditulisi nama karyawan yang di PHK.
Selain itu, di atas makam diletakkan helm pekerja. Makam-makam tersebut dibariskan dan dijejerkan dengan rapi.
Dalam aksi itu mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan ganti rugi dan pesangon. Pemerintah juga diminta menyediakan lapangan kerja pengganti.
"Pemerintah harus salurkan listrik di desa yang selama ini diperoleh dari pengadaan listrik perusahaan tambang. Serta meminta Komnas HAM untuk pertanyakan ke pemerintah terkait PHK tersebut karena menghilangkan hak kami," ujar salah satu anggota Spartan, Juan Forti Silalahi.
2. Contoh Kasus Iklan Tidak Etis
Studi Kasus Iklan So Nice So Good
iklan yang tayang di televisi yaitu iklan So Nice "So
Good", "Fakta Bicara" oleh Badan Pengawasan Periklanan,
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) diputuskan melanggar Etika
Pariwara Indonesia (EPI). Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Periklanan
(BPP) PPPI telah disampaikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Pada iklan TV So Nice "So Good", pelanggaran EPI
terjadi pada pernyataan bahwa mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan
akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak. Menurut EPI BAB IIIA No. 1.7
menyatakan bahwa: "Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas
mutu suatu produk, maka dasar-daasr jaminannya harus dapat
dipertanggungjawabkan.
KPI Pusat juga mengingatkan kepada para pembuat iklan dan
televisi bahwa dalam Pasal 49 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS) KPI Tahun
2009 telah dinyatakan bahwa iklan wajib berpedoman kepada EPI.
Selanjutnya KPI Pusat meminta kepada semua stasiun TV untuk
mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) Tahun
2009 dan EPI. (KPI)
3. Contoh Kasus Etika Pasar Bebas
Contoh Kausu Etika Bisnis Indomie Di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya
pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas.
Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk
melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini
pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme
pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam
memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan
melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah
persaingan produk impor dariIndonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang
lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
PERMASALAH Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena
disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari
peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh
digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan
telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie. Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan
Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. "Kita akan
mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu,
secepatnya kalau bisa hari Kamis ini," kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka
Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR
akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak
negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang
terkandung di dalam produk Indomie. A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi
kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang
membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga
membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini.
Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman
untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg
nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko
terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota
Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Sebagai bentuk kekecewaan, Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (Spartan) membuat 1.000 makam di depan Tugu Proklamasi (Tuprok). 'Makam' tersebut melambangkan PHK tanpa pesangon seperti sebuah kematian.
Pantauan merdeka.com, Kamis (2/1) makam tersebut terbuat dari papan sepanjang 50 cm. Terdapat pula, papan yang dibuat sebagai batu nisan dan ditulisi nama karyawan yang di PHK.
Selain itu, di atas makam diletakkan helm pekerja. Makam-makam tersebut dibariskan dan dijejerkan dengan rapi.
Dalam aksi itu mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan ganti rugi dan pesangon. Pemerintah juga diminta menyediakan lapangan kerja pengganti.
"Pemerintah harus salurkan listrik di desa yang selama ini diperoleh dari pengadaan listrik perusahaan tambang. Serta meminta Komnas HAM untuk pertanyakan ke pemerintah terkait PHK tersebut karena menghilangkan hak kami," ujar salah satu anggota Spartan, Juan Forti Silalahi.
Studi Kasus Iklan So Nice So Good
iklan yang tayang di televisi yaitu iklan So Nice "So
Good", "Fakta Bicara" oleh Badan Pengawasan Periklanan,
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) diputuskan melanggar Etika
Pariwara Indonesia (EPI). Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Periklanan
(BPP) PPPI telah disampaikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Pada iklan TV So Nice "So Good", pelanggaran EPI
terjadi pada pernyataan bahwa mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan
akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak. Menurut EPI BAB IIIA No. 1.7
menyatakan bahwa: "Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas
mutu suatu produk, maka dasar-daasr jaminannya harus dapat
dipertanggungjawabkan.
KPI Pusat juga mengingatkan kepada para pembuat iklan dan
televisi bahwa dalam Pasal 49 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS) KPI Tahun
2009 telah dinyatakan bahwa iklan wajib berpedoman kepada EPI.
Selanjutnya KPI Pusat meminta kepada semua stasiun TV untuk
mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) Tahun
2009 dan EPI. (KPI)
3. Contoh Kasus Etika Pasar Bebas
Contoh Kausu Etika Bisnis Indomie Di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya
pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas.
Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk
melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini
pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme
pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam
memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan
melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah
persaingan produk impor dariIndonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang
lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
PERMASALAH Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena
disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari
peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh
digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan
telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie. Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan
Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. "Kita akan
mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu,
secepatnya kalau bisa hari Kamis ini," kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka
Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR
akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak
negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang
terkandung di dalam produk Indomie. A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi
kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang
membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga
membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini.
Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman
untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg
nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko
terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota
Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
4. Contoh Kasus Whistle Blowing
Kasus Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG.
Sumber :
4. Contoh Kasus Whistle Blowing
Kasus Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar